Kisah Hidup-qu

ketika suatu imajinasi tidak dapat disampaikan maka itu adalah sebuah kekosongan yang tak bermakna..perlihatkan imajinasimu agar kau tetap hidup sebagai manusia di dunia ini.... By : Anwar Hamdi



Widget edited by anwar

Berita Iptek


ShoutMix chat widget

Zakat-Pajak Beban Umat Muslim Indonesia


Zakat dan pajak secara konseptual memiliki substansi pemaknaan yang sama sebagai suatu beban yang harus ditunaikan oleh seorang penganut agama dan seorang warga negara. Bahkan akan menjadi kewSebagai warga negara, umat muslim Indonesia dibebani sejumlah kewajiban pajak, antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (tanpa syarat bagi pemilik tanah dan bangunan), Pajak Penghasilan (15 persen), Pajak Pertambahan Nilai (10 persen), IMB, dan sejumlah pungutan lainnya seperti retribusi yang sangat bervariasi.

Itu masih ditambah lagi beban zakat sebesar 2,5–5 persen. Dengan demikian, umat muslim Indonesia dengan jumlahnya yang mayoritas, dapat dipastikan sebagai penyetor pungutan terbesar kepada negara.

Zakat dan pajak tampaknya memiliki arah yang sama sebagai sarana pendapatan untuk kepentingan bersama, baik untuk pembangunan fisik maupun untuk pembangunan manusia seutuhnya.

Pajak dalam konteks modern lebih memiliki karakter untuk tujuan pembangunan secara umum, sementara zakat sejak dahulu kala memiliki spesifik pemungutan dan penggunaannya yang tidak pernah berubah, yaitu untuk pembangunan manusia seutuhnya bagi delapan ashnaf (golongan penerima zakat).

Secara historis, pajak yang disebut dharibah dalam konteks pemerintahan Islam merupakan salah satu sarana penerimaan negara selain kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak jiwa), ghanimah (pampasan perang), ushr (cukai), dan fa’iy, telah dikenal sejak masa Rasulullah dan masa-masa pemerintahan Islam selanjutnya.

Yang tampak bahwa posisi zakat tidak pernah terabaikan karena perintah Alquran, sementara jenis-jenis pungutan tersebut berlangsung secara fluktuatif, tergantung pada situasi dan kondisi keuangan Baitul Mal dan kebutuhan pemerintahan Islam ketika itu.

Pajak atau dharibah di masa-masa dinasti islamiyah eksistensinya tidak seperti yang berlangsung dewasa ini. Ketika itu pajak (dharibah) diadakan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti saat kas Baitul Mal kurang atau kosong sama sekali,

ataukah terdapat suatu proyek atau peristiwa yang memerlukan dana dan harus dirampungkan untuk jangka waktu tertentu, barulah sarana dharibah ini diterapkan. Dengan demikian dharibah ketika itu bukanlah beban rutinitas yang berkelanjutan, melainkan hanya bersifat temporer jika kedua kondisi tersebut muncul.

Pembebanannya juga hanya dikenakan bagi yang kaya atau yang berkemampuan lebih. Itupun hanya dalam rangka menutupi kekurangan. Setelah itu, dharibah ditiadakan lagi.

Zakat sepanjang sejarahnya sejak diwajibkan bagi umat muslim yang berkemampuan, terus berlangsung secara kontinu dan rutin hingga saat ini, meskipun pajak (dharibah) juga harus dibayarnya. Jadi umat muslim di masa lalu terkadang hanya membayar zakat tetapi juga tidak jarang dikenakan pajak secara bersamaan.

Pembebanan ganda (double taxs) zakat dan pajak sebenarnya juga telah dipraktikkan di masa-masa dinasti Islamiah masa lalu. Namun pajak itu tidak pernah permanen hanya diperuntukkan mengisi kas Baitul Mal atau untuk menutupi kekurangan dana untuk program-program tertentu dan itupun hanya untuk umat muslim tertentu di luar kewajiban zakatnya.

Konteks Indonesia

Praktiknya di Indonesia zakat dan pajak itu berlangsung secara kontinue dan permanen terhadap warga negaranya tanpa memandang ras dan latar belakangnya. Umat muslim yang berkemampuan lebih secara material maka ia wajib pajak sebagai warga negara sekaligus wajib zakat.

Dalam kondisi ini, zakat dan pajak wajib ditunaikannya secara bersamaan di mana zakat biasanya diserahkan kepada amil zakat untuk disalurkan kepada yang berhak, yakni delapan ashnaf.

Kewajiban pajak merupakan konsekuensi langsung sebagai warga negara tanpa syarat untuk berbagai jenis pajak demi kepentingan pembiayaan kelangsungan pemerintahan dan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Pembebanan ini berlangsung secara kontinu setiap tahunnya atau setiap melakukan kegiatan yang terkena pajak.

Menyimak realitas pembebanan demikian, tampaknya cukup memberatkan warga Negara, terutama umat muslim yang juga dikenakan kewajiban berzakat sebesar 2,5–5 persen dari penghasilannya.

Meskipun berbeda peruntukannya, namum subjeknya sama. Menarik untuk dikaji demi mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam dan tanpa mengurangi hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

Zakat Pengurang Pajak

Dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, rupanya secara eksplisit memberikan solusi yang akan membantu meringankan beban umat muslim terutama yang berkaitan dengan kewajibannya sebagai wajib pajak.

Pasal 14 (3) UU tersebut menyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan melalui BAZ dan LAZ dikurangkan dari laba/pendapatan kena pajak. Misalnya seorang muslim dikenai pajak penghasilan sebesar 15 persen di satu sisi, maka sudah barang tentu juga ia dikenakan zakat sebesar 2,5–5 persen.

Ini berarti muslim tersebut mengeluarkan dari penghasilannya itu mendekati total 20 persen. Hal ini terlihat sebagai beban yang sungguh memberatkan.

Namun melalui UU tersebut, zakat yang dikeluarkan dimungkinkan sebagai pengurang beban pajak 15 persen dikurangi zakat yang telah dikeluarkan sebesar 2,5 persen sehingga pajak penghasilannya menjadi 12,5 persen. Hal ini cukup meringankan beban umat muslim di tanah air.

Permasalahan selanjutnya adalah seorang muslim sejak awal harus menyatakan secara jujur dan benar harta dan penghasilannya yang terkena pajak sekaligus sebagai objek zakat. Tetapi sungguh akan menyulitkan jika harta/penghasilan tidak dalam satu bundel, lain harta yang dikenakan zakat lain pula penghasilan yang bakal dikenakan pajak.

Untuk menggeneralisasi pajak yang bisa dikurangkan dengan zakat, tampaknya tidak mudah direalisasikan. Misalnya PBB, PPN, IMB, dan pungutan lainnya, terlalu sukar untuk menghitungnya sehingga zakat bisa menjadi pengurang atasnya. Namun yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah PPh terhadap zakat.

Jadi semua penghasilan kena pajak juga menjadi objek zakat, sehingga bukti pembayaran zakat dapat langsung dijadikan dasar pengurangan pajak. Tetapi kehendak mulia UU tersebut kembali lagi sejauh mana kesiapan pemerintah dalam hal ini instansi terkait untuk meresponsnya.

Hal lain yang tidak kalah urgennya adalah teknis pengeluaran zakat bagi kaum muslimin, juga harus diikuti dengan cara-cara yang profesional pula. Jadi pembayaran zakar secara konvensional sudah pasti tidak termasuk di dalamnya, karena bukti lunas zakat tentunya harus dikeluarkan oleh lembaga profesional seperti kehadiran BAZ dan LAZ dengan kuitansi yang standar.

Nah pembayaran zakat secara langsung sangat sulit meskipun ada bukti terima dari fakir-miskin walaupun didukung dengan KTP dan lainnya.

Bagaimana dengan keadaan saat ini di mana seluruh masjid membentuk panitia Ramadan amil zakat, infaq, dan sedekah? Sepanjang mekanisme penerimaan zakat masih manual dan konvensional meskipun didasari dengan SK Pengurus Masjid,

tetap belum termasuk dalam bukti yang dikehendaki UU tersebut sebagai dasar pengurang pajak. Namun bukti lunas zakat yang sesuai UU hanyalah melalui BAZ dan LAS yang sah dengan form yang standar.

Amil Zakat Wakil Tuhan

Untuk mengantisapi zakat sebagai pengurang pajak, kita konsisten saja dengan UU Zakat, dengan memaksimalkan aturan kinerja Amil Zakat secara kelembagaan dan bagaimana menampilkan lembaga itu sebaik dan seefektif mungkin.

Amil zakat yang amanah bukan saja karena keahlian manajerial dan kejujurannya, melainkan juga harus betul-betul selektif dalam menerima zakat serta tidak hanya berorientasi ekonomis dibayangi asumsi-asumsi angka yang besar dikalikan dengan jumlah umat Islam seperti yang tampak saat ini.

Padahal zakat itu sendiri bukan untuk mensucikan harta yang kotor (diperoleh secara bathil), tetapi hanya untuk mensucikan harta yang suci dari perilaku yang suci (tazkiyah). Jika paradigma demikian ada di pikiran amil zakat sudah melenceng dari kesucian yang melekat dalam syariah Islam.

Karena itulah, mengapa UU No 38/1999 hanya mengatur pengelola zakat selain secara filosofi sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menerima zakat atas nama-Nya.

Agar yang diangkat sebagai wakil Tuhan (amil) itu tidak menyalahgunakan kewenangannya, maka perlu diatur dengan baik sesuai dengan syariah-Nya. Maka institusionalisasi amil zakat yang mengedepankan prinsip tazkiyah semakin urgen adanya, terutama dalam membangun koordinasi dengan instansi perpajakan nasional.

Untuk menghindari Amil Zakat yang bermasalah di kemudian hari dan di hari kemudian, maka perlu diatur secara detail syarat amil zakat karena ia adalah wakil Tuhan dan menerima zakat atas nama Allah swt, bukan atas nama ketua Masjid,

Bazis, dan Lazis, dan kita terhindar dari jebakan ayat (janganlah kalian menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga yang sangat murah; wala tasy-taruu biayatillah stamanan qalilan).

Dengan demikian siapa yang akan berzakat, apa yang harus dizakati, harus diketahui secara benar oleh amil zakat sebagai wakil Tuhan Hal ini penting diatur agar pemahaman dan pengelolaan zakat tetap senantiasa dalam koridor syariah, jangan sampai pelanggaran syariah atas nama syariah itu sendiri.

Persoalan muzakki yang tidak berzakat itu urusan langsungnya kepada pencipta-Nya tanpa perlu kita intervensi, sudah cukup dengan dakwah dari sesamanya manusia akan kewajibannya sebagai hamba Allah swt.

Bagi kaum muslim Indonesia, sungguh sangat mulia manakala beban pajak itu disikapi sebagai rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara, diniatkan sebagai perbuatan makruf untuk kepentingan bersama dan semoga Allah memberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.


0 komentar:

Posting Komentar