Kisah Hidup-qu

ketika suatu imajinasi tidak dapat disampaikan maka itu adalah sebuah kekosongan yang tak bermakna..perlihatkan imajinasimu agar kau tetap hidup sebagai manusia di dunia ini.... By : Anwar Hamdi



Widget edited by anwar

Berita Iptek


ShoutMix chat widget
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan

Pajak dan Transfer Pricing


IDENTIFIKASI DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI TRANSFER PRICING

PENDAHULUAN

Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan khususnya perkembangan teknologi informasi berupa makin luasnya pemakaian internet, telah banyak mengubah kehidupan masyarakat dunia. Transaksi internasional yang mencakup barang, jasa dan modal cenderung berorientasi global, dimana batas-batas suatu negara semakin kabur dan dengan sarana internet perdagangan dapat berlangsung tanpa batas. Hal ini membuat arus barang, jasa maupun modal akan masuk dan atau keluar dari suatu Negara tanpa hambatan. Kegiatan perdagangan lintas Negara membuat pertumbuhan perusahaan multinasional makin pesat. Perusahaan multinasional tersebut, di luar negara tempat kedudukannya mengoperasikan cabang atau anak perusahaan. Pendirian anak perusahaan di berbagai negara merupakan strategi bisnis perusahaan untuk memenangkan persaingan seperti mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar, menguasai sumber-sumber daya yang relatif terbatas. Dalam perusahaan multinasional tersebut, hampir sebagian besar transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi antar mereka, seperti transaksi penjualan, pembelian bahan baku, pemberian jasa, penggunaan hak kekayaan intelektual, pemberian pinjaman dan sebagainya.
Keberhasilan operasi-operasi bisnis di luar negeri sangat berkaitan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan yang sangat banyak jumlahnya. Salah satu mekanisme yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk beradaptasi adalah teknik pricing atas sumber daya, jasa dan teknologi yang ditransfer dari satu perusahaan anak ke perusahaan anak yang lain dalam sistem multinasional. Transfer pricing bervariasi dari suatu perusahaan ke perusahaan lain, industri ke industri dan negara ke negara. Transfer pricing dapat mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik dalam entitas-entitas bisnis multinasional. Transaksi-transaksi yang terjadi antar negara juga mengakibatkan perusahaan-perusahaan multinasional menerima banyak pengaruh dari lingkungan yang menciptakan sekaligus mengurangi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan laba perusahaan melalui penyesuaian-penyesuaian harga internal. Faktor-faktor seperti perbedaan tarif pajak, tarif impor, persaingan, laju inflasi, nilai valuta asing, resiko-resiko politik, kepentingan-kepentingan mitra usaha patungan membuat keputusan-keputusan transfer pricing semakin rumit. Dan pada akhirnya keputusan tentang transfer pricing umumnya menimbulkan trade-off yang kadang-kadang tidak terduga dan mungkin jarang bisa dijelaskan.
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah. Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke negara lainnya. Hal inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah internasional karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer pricing menjadi negara sumber penghasilan.Transfer pricing dapat menimbulkan distorsi penerimaan negara.


DEFINISI DAN METODE TRANSFER PRICING

Beberapa definisi mengenai transfer pricing atau transfer price yang diutarakan beberapa ahli antara lain adalah :

Menurut Tsurumi dalam Gunadi ( 1997 ), dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen (management control ) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.

Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar dalam Akuntansi Biaya, harga transfer merupakan harga yang dikenakan oleh satu subunit (segmen, departemen, divisi dan sebagainya ) untuk produk atau jasa yang dipasok ke subunit lain dalam organisasi yang sama.
Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu harga internal yang dibebankan oleh satu unit ( seperti divisi, perusahaan anak, atau departemen ) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang sama.
Menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven dalam Management Accounting, harga transfer adalah harga yang ditagihkan untuk barang yang ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.

Menurut Sophar Lumbantoruan, harga transfer adalah penentuan harga atau balas jasa atas suatu transaksi antar unit dalam satu perusahaan atau antar perusahaan dalam satu grup.

Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya transfer pricing adalah suatu metode penentuan harga antar perusahaan dalam satu grup yang sama.
Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar, ada tiga metode umum untuk menentukan harga transfer yaitu
Harga transfer berdasarkan pasar
Perusahaan dapat memilih untuk menggunakan harga dari produk atau jasa sejenis yang tercantum dalam, katakanlah jurnal perdagangan. Perusahaan juga dapat memilih harga internalnya sama dengan harga eksternal yang dikenakan terhadap konsumen luar.
Harga transfer berdasarkan biaya
Contoh-contoh meliputi biaya variabel produksi, biaya produksi penuh dan biaya produk penuh. Biaya produksi penuh meliputi semua biaya produksi termasuk biaya dari fungsi usaha ( riset dan pengembangan, desain, pemasaran, distribusi, dan pelayanan konsumen ). Biaya-biaya tersebut dapat merupakan biaya aktual maupun biaya yang dianggarkan.
Harga transfer hasil negosiasi
Dalam beberapa kasus, subunit perusahaan bebas untuk menegosiasikan harga transfer antar mereka. Subunit dapat menggunakan informasi mengenai biaya dan harga pasar dalam negosiasi, tetapi tidak ada persyaratan bahwa harga transfer yang dipilih harus mempunyai hubungan tertentu ke biaya atau harga pasar. Harga transfer hasil negosiasi tersebut sering digunakan ketika harga transfer berfluktuasi dan terus berubah. Harga transfer hasil negosiasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar antara divisi penjual dan divisi pembeli.
Sedangkan menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven, tiga metode yang lazim digunakan dalam penetapan harga transfer adalah :
Harga transfer berdasarkan harga pasar


Apabila terdapat pasar luar dengan persaingan sempurna untuk produk yang ditransfer, maka harga transfer yang sesuai adalah harga pasar. Dengan harga pasar tidak ada divisi yang memperoleh manfaat di atas beban divisi lain. Dalam hal ini, harga pasar mencerminkan biaya kesempatan ( opportunity cost) divisi penjual dan divisi pembeli

Harga transfer yang dinegosiasikan
Dalam banyak kasus, pembeli atau penjual mampu mempengaruhi harga sampai derajat tertentu ( sebagai contoh melalui jumlah yang besar atau melalui penjualan produk yang erat kaitannya tetapi berbeda, atau melalui penjualan produk yang unik ). Apabila tidak terdapat pasar dengan persaingan sempurna, harga transfer yang dinegosiasikan adalah pilihan yang baik. Dalam hal ini, biaya kesempatan divisi penjual dan divisi pembeli berbeda, dan mereka menetapkan harga batas atas dan batas bawah untuk harga transfer. Harga transfer yang dinegosiasi menawarkan harapan untuk melengkapi ketiga kriteria kesesuaian tujuan, otonomi dan akurasi evaluasi kinerja.
Harga transfer berdasarkan biaya
Penggunaan harga transfer berdasarkan biaya tidak lazim direkomendasikan, tetapi, apabila transfer menimbulkan dampak yang kecil terhadap profitabilitas kedua divisi, pendekatan ini dapat diterima. Perusahaan yang menggunakan penetapan harga transfer berdasarkan biaya mensyaratkan bahwa seluruh transfer berlangsung pada suatu bentuk biaya. Tiga bentuk dari penetapan harga transfer berdasarkan biaya yang akan dipertimbangkan adalah :
Full cost
Full cost meliputi direct materials, direct labor, variable overhead dan bagian dari fixed overhead. Penetapan harga transfer full cost dapat merusak insentif dan mengganggu ukuran-ukuran kinerja dan akan menutup kemungkinan pemberlakuan harga transfer yang dinegosiasikan.
Full cost plus markup
Rumusan full cost plus markup mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan harga transfer yang dinegosiasi. Dalam beberapa kasus, suatu rumusan full cost plus markup mungkin menjadi hasil dari negosiasi, bila demikian, cara ini hanyalah sebuah contoh lain dari penetapan harga transfer yang dinegosiasi. Tetapi, penggunaan full cost plus markup untuk mewakili semua harga negosiasi adalah tidak mungkin.
Variable cost plus fixed fee
Seperti full cost plus markup, variable cost plus fixed fee merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam penetapan harga transfer, dengan tingkat fixed fee dapat dinegosiasikan. Metode ini memiliki satu keunggulan dibandingkan full cost plus markup yaitu apabila divisi penjual sedang beroperasi di bawah kapasitas, maka variable cost adalah opportunity cost-nya. Dengan mengasumsikan bahwa fixed fee dapat dinegosiasikan, pendekatan variable cost adalah sama dengan penetapan harga transfer yang dinegosiasi.


PERATURAN PERPAJAKAN TENTANG HUBUNGAN ISTIMEWA DAN TRANSFER PRICING


Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan

Pasal 10 ayat 1 berbunyi :
Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.

Penjelasan :

Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.

Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima


Pasal 18 ayat 3 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan

Pasal 18 ayat 3 berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Penjelasan :

Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung dengan menyatakan penyetoran modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak

Pasal 18 ayat 3A Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan

Pasal 18 ayat 3A berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

Penjelasan :

Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA ) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties ) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Pasal 18 ayat 4 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan

Pasal 18 ayat 4 berbunyi :
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% ( dua puluh lima persen ) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

Penjelasan :

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
kepemilikan atau penyertaan modal;
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah

Pasal 2 ayat 1 berbunyi :

Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

Penjelasan :

Pengaruh hubungan istimewa seperti dimaksud dalam Undang-undang ini ialah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No.18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah

Pasal 2 ayat 2 berbunyi :

Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen ) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% ( dua puluh lima persen ) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.

Penjelasan :

Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
faktor kepemilikan atau penyertaan;
  1. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
  2. Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
  3. Ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ( P3B )
  4. Sehubungan dengan masalah transfer pricing yang melibatkan banyak negara maka di P3B mengatur tentang hubungan istimewa, yaitu pada Pasal 9 UN Model. Pasal ini mengatur tentang perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yaitu antara induk perusahaan yang berdomisili di salah satu negara dan anak perusahaan yang berdomisili di negara lainnya.

Pasal 9 UN Model berbunyi :

1. Apabila :
Suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak persetujuan lainnya, atau
Orang atau badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak pada persetujuan lainnya, dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, sehingga laba yang timbul dinikmati oleh salah satu perusahaan yang apabila syarat-syarat itu tidak dapat dinikmati oleh perusahaan tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenai pajak.

Apabila suatu negara pihak pada persetujuan mencakup laba satu perusahaan di Negara itu dan dikenai pajak laba yang telah dikenai pajak di Negara lainnya dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan-perusahaan independen, maka Negara lain itu akan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenai pajak. Penyesuaian-penyesuaian itu harus memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam persetujuan ini dan apabila dianggap perlu, pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada persetujuan saling berkonsultasi.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing
Peraturan ini merupakan petunjuk bagaimana perlakuan perpajakan atas kasus transfer pricing, berisi contoh-contoh transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antar pihak tersebut dapat mengakibatkan kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Bentuk kekurang wajaran dapat terjadi atas penentuan :
Harga penjualan
  1. Harga pembelian
  2. Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
  3. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder loan )
  4. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
  5. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
  6. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha ( misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center )

IDENTIFIKASI DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI TRANSFER PRICING

Untuk menangani dan menyelesaikan transaksi transfer pricing yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa , yang mungkin melibatkan otoritas pajak negara lain serta dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari pajak maka otoritas pajak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Mengetahui motivasi perusahaan tersebut melakukan transfer pricing
Mengidentifikasi adanya rekayasa transfer pricing
Memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip arm’s length dalam menangani masalah transfer pricing
Metode-metode untuk menentukan arm’s length
Penerapan Advance Pricing Agreement
Menurut Gunadi, pada tahun 1985 telah dilakukan penelitian oleh tim UNTC dari PBB yang diketuai oleh DR.Silvain Plasschaert tentang transfer pricing di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan ada beberapa motivasi transfer pricing di Indonesia yaitu :
pengurangan obyek pajak terutama pajak penghasilan
pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri
penurunan pengaruh depresiasi rupiah
menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor
mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha
mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan ( ekologi dan masyarakat )
memperkecil akibat pembatasan, ketidakpastian atas resiko kegiatan perusahaan luar negeri
Penelitian tersebut membuktikan bahwa praktik transfer pricing dapat dipicu oleh motivasi pajak atau non pajak. Motivasi pajak atas transfer pricing dilakukan dengan merelokasi penghasilannya ( revenues ) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak yang relatif rendah ( low tax countries ) dan sebaliknya membebankan biaya-biaya usahanya lebih besar ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak yang relatif tinggi (high tax countries ) sehingga perusahaan tersebut memperoleh penghematan pajak secara global. Perbedaan tarif pajak penghasilan antar negara seperti Indonesia 30%, Singapura 27%, Hongkong 18%, atau bahkan Bahama, Bermuda dan Cayman Islands yang tidak memiliki pajak sama sekali, makin mendorong perusahaan untuk melakukan transfer pricing. Manipulasi pajak lain yang dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah mendirikan vehicle company atau letter box company di negara-negara yang termasuk tax haven countries. Negara seperti Cayman Islands, British Virgin Island dan Mauritius merupakan negara tax haven countries yang memberikan subsidi pajak berupa tarif pajak yang relatif rendah atau bahkan membebaskannya kepada para investor, menyediakan infrastruktur keuangan yang canggih (sophisticated financial infrastructures) dan jaminan kerahasiaan ( secrecy )
Strategi transfer pricing dengan memanfaatkan perbedaaan tarif pajak antar negara yang bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak ( tax avoidance ) akan sangat merugikan negara-negara yang termasuk high tax countries karena negara-negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh. Masalah transfer pricing akan makin parah apabila dimaksudkan untuk melakukan penggelapan pajak ( tax evasion ), untuk itu maka perusahaan multinasional yang melakukan penggelapan pajak dianggap melakukan tindakan kriminal di bidang perpajakan. Dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing telah menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku karena secara substansi negara seharusnya dapat memajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga dengan demikian akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39 bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak sangat tipis dan dari sisi etika bisnis, praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Penanganan transfer pricing atas barang dagangan, teknologi, merek dan jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa memang tidak mudah. Modus operandi semakin canggih seiring dengan perkembangan transaksi internasional dan era globalisasi. Di Indonesia transaksi-transaksi yang melibatkan perusahaan multinasional tidak lepas dari rekayasa transfer pricing, terutama oleh Wajib Pajak yang berbentuk Penanaman Modal Asing ( PMA ) maupun Bentuk Usaha Tetap ( permanent establishment ). Perusahaan PMA tersebut umumnya bergerak di bidang manufaktur dan mempunyai hubungan kepemilikan dengan perusahaan induk atau anak perusahaan lain di negara yang lain.

Perusahaan di Indonesia umumnya dijadikan cost center, dengan cara perusahaan di Indonesia membeli bahan baku dari perusahaan induk atau perusahaan anak lain yang berafiliasi dengan harga yang tinggi, ini akan makin sulit apabila bahan baku yang diimpor tidak mempunyai harga pembanding di pasar internasional. Kemudian bahan baku tersebut diolah menjadi barang setengah jadi yang nantinya diekspor kembali ke perusahaan induk atau perusahaan anak lainnya di negara lain dengan harga yang sama dengan biaya produksi atau bahkan lebih rendah dari biaya produksinya. Perusahaan di Indonesia juga dapat dijadikan tempat untuk memproduksi bahan baku yang hasilnya dipasarkan ke pasar lokal maupun ke negara ketiga.
Beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai indikasi awal adanya rekayasa transfer pricing pada perusahaan di Indonesia adalah
Dalam laporan audit dapat diketahui bahwa sebagian besar transaksi baik pembelian maupun penjualan dilakukan dari dan ke perusahaan-perusahaan lain yang mempunyai hubungan istimewa ( related parties )
Dalam laporan audit juga dapat diketahui bahwa struktur modal, umumnya perusahaan di Indonesia lebih banyak mengandalkan pinjaman ( baik yang berasal dari sindikasi perbankan maupun perusahaan induknya ) daripada modal sendiri. Hal ini dikenal dengan thin capitalization ( debt-equity ratio )
Terjadi pembayaran royalti atau imbalan jasa baik jasa teknik maupun jasa manajemen dari perusahaan di Indonesia kepada perusahaan-perusahaan lain yang termasuk perusahaan related parties, walaupun perusahaan di Indonesia tersebut mengalami kerugian selama bertahun-tahun
Apabila perusahaan di Indonesia tersebut dalam operasi normal perusahaan menghasilkan laba maka akan terjadi pembayaran dividen dalam jumlah besar kepada para pemegang sahamnya.
Perusahaan tetap dapat beroperasi normal walaupun selama bertahun-tahun menderita kerugian, karena memang perusahaan di Indonesia di setting sebagai pusat biaya atau pusat penampungan kerugian. Hal ini dapat terlihat dari persentase Harga Pokok Penjualan yang tinggi terhadap Penjualan dan kecilnya Gross Profit.

Memanfaatkan celah pada peraturan tentang P3B yang dikenal dengan istilah treaty shopping. Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya merupakan transaksi segitiga. Berkaitan dengan transfer pricing, treaty shopping dilakukan dengan melakukan rekayasa arus dana melalui negara mitra perjanjian untuk mendapatkan keringanan pajak.
Terdapat transaksi-transaksi yang melibatkan negara-negara tax haven countries.
Apabila salah satu perusahaan dalam satu grup menderita kerugian terus menerus tetapi secara keseluruhan perusahaan tersebut memperoleh laba maka patut dicurigai adanya praktek transfer pricing. Sebab perusahaan yang independen tidak mau perusahaannya menderita rugi berkepanjangan.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa transaksi transfer pricing melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa maka harga yang terjadi tentu tidak bersifat arm’s length. Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan salah satu alat untuk memobilisasi laba usaha agar tujuan perusahaan secara global dapat tercapai, sedangkan otoritas pajak tetap menginginkan agar transaksi yang melibatkan perusahaan-perusahaan dalam satu grup tetap bersifat arm’s length. Untuk keperluan ini, OECD telah mengeluarkan petunjuk untuk menangani masalah transfer pricing pada tahun 1995. Pada dasarnya OECD menerapkan prinsip arm’s length dalam menghadapi masalah transfer pricing karena prinsip ini membuat perusahaan-perusahaan dalam satu grup memiliki kondisi yang sama dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan prinsip arm’s length adalah :
Analisa tentang transaksi yang bisa dibandingkan
Dasar menerapkan prinsip arm’s length adalah perbandingan transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan transaksi antara pihak-pihak yang independen. Faktor penting dalam menilai apakah transaksi dapat dibandingkan adalah mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ekonomis yang menjadi latar belakang timbulnya transaksi tersebut.
Pengakuan atas transaksi yang dilakukan
Otoritas pajak berkepentingan untuk menerima transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana adanya. Karena apabila dilakukan koreksi terhadap transaksi tersebut, dapat terjadi double taxation karena negara lain belum tentu memiliki pendapat yang sama. Otoritas pajak dapat mengabaikan transaksi dalam hal :

Apabila substansi ekonomis dari transaksi tersebut berbeda dari formalitasnya
Substansi dan formalitasnya sama, tetapi secara keseluruhan transaksi tersebut berbeda dari transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang independen.

Evaluasi terhadap transaksi secara terpisah atau secara gabungan
Untuk memperoleh harga pasar yang wajar, prinsip arm’s length perlu diterapkan terhadap setiap transaksi. Transaksi dapat dilihat secara terpisah atau gabungan, mungkin ada transaksi kontrak dalam satu paket tetapi diperlakukan sebagai transaksi terpisah. Oleh karena itu, setiap bagian dari transaksi yang menjadi unsur paket tersebut perlu diteliti. Setelah transfer pricing untuk setiap bagian dari transaksi itu ditentukan, maka secara keseluruhan dapat dilihat apakah transaksi tersebut sudah arm’s length atau belum.
Penerapan arm’s length dalam suatu interval
Penggunaan metode-metode arm’s length menimbulkan angka yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berbeda yang mempengaruhi transaksi tersebut. Apabila terdapat interval angka dan deviasi dari angka-angka terlalu besar maka terdapat kemungkinan data yang dipakai tidak dapat dipercaya.
Penggunaan data yang berasal dari beberapa tahun
Otoritas pajak dapat menggunakan data Wajib Pajak yang meliputi data tahun terjadinya transaksi dan tahun-tahun sebelumnya untuk memperoleh fakta dan situasi yang lebih akurat yang mempengaruhi transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dengan demikian otoritas pajak mempunyai data pembanding atas transaksi tersebut. Di Indonesia hal ini telah diatur dalam Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan.

Kerugian yang diderita
Perusahaan yang mengalami kerugian tetapi secara keseluruhan grup perusahaan tersebut memperoleh laba, mungkin tidak mendapat kompensasi yang wajar dan ini perlu diteliti lebih lanjut karena mungkin terjadi transfer pricing.
Akibat kebijakan pemerintah
Dalam beberapa kasus, Wajib Pajak sering mengatakan hahwa harga barang harus disesuaikan dengan kebijakan pemerintah seperti pengendalian harga, pemberian subsidi di sektor tertentu, pengawasan devisa, dll. Oleh karena itu intervensi pemerintah tersebut harus diperlakukan sebagai kondisi pasar di negara tertentu.

Kompensasi yang disengaja
Dalam hal ini perusahaan-perusahaan dalam satu grup telah tahu bahwa transaksi telah diatur sehingga salah satu perusahaan memberikan manfaat tertentu kepada perusahaan lain dalam satu grup dan menerima manfaat dalam bentuk lain dari perusahaan lain tersebut.
Penggunaan patokan harga untuk keperluan bea masuk
Otoritas pajak dapat menggunakan patokan harga yang berasal dari data bea cukai untuk menilai apakah sudah sesuai dengan prinsip arm’s length. Dalam praktik, aparat bea cukai telah menggunakan prinsip arm’s length pada saat barang ditransfer, pada saat itu aparat bea cukai membandingkan harga barang yang diimpor oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan barang yang diimpor oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
OECD menyebutkan beberapa metode untuk menentukan arm’s length yaitu :
Comparable uncontrolled price method
Berdasarkan pendekatan ini, harga transfer ditetapkan dengan mengacu pada harga yang digunakan dalam transaksi-transaksi yang sebanding antara perusahaan-perusahaan independen atau antara korporasi dengan pihak ketiga yang tidak berhubungan.Walaupun metode ini mudah diaplikasikan dalam teori, tetapi tidak mudah dalam praktik. Perbedaan-perbedaan dalam kualitas, kuantitas,merek dagang, brand, dan level ekonomis dari pasar umumnya menyebabkan perbandingan antara harga untuk harga atau jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi sejenis yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa secara langsung sangat sulit dilakukan.

Resale price method
Metode ini melihat harga transaksi antara pihak-pihak yang independen setelah terjadinya transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, menyangkut barang yang sama. Harga tersebut dikurangi dengan gross margin (resale price margin) yang pantas yang merupakan jumlah yang ditetapkan oleh penjual untuk menutup kembali harga pokok berikut biaya operasi lainnya. Sisanya setelah dikurangi biaya-biaya yang berkaitan dengan pembelian barang tersebut, misalnya bea masuk, menghasilkan arm’s length price. Resale price margin dari transaksi antar perusahaan dalam satu grup dapat ditentukan dengan merujuk pada resale price margin yang diharapkan oleh penjual atas barang yang dibeli dan dijual berdasarkan transaksi yang sejenis yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
Cost plus method
Penentuan arm’s length dimulai dengan besarnya jumlah yang dikeluarkan oleh pemasok harta atau jasa dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian jumlah tersebut ditambahkan suatu markup sehingga menunjukkan laba sesuai dengan keadaan pasar. Besarnya cost plus markup itu sebaiknya ditentukan dengan mengacu pada cost plus markup yang diperoleh pemasok yang sama atas transaksi sejenis yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Profit split method
Metode ini mencari laba yang akan dibagi di antara mereka yang ada dalam satu grup dari transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian laba tersebut dibagi di antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan pertimbangan ekonomis sehingga pembagian itu kurang lebih mencerminkan laba seandainya transaksi itu tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Transactional net margin method
Metode ini menetapkan margin laba bersih yang didasarkan atas perbandingan tertentu terhadap biaya, penjualan atau aktiva yang diperoleh Wajib Pajak. Karena itu, net margin dari Wajib Pajak yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa seharusnya ditetapkan dengan mengacu pada net margin Wajib Pajak tersebut dalam transaksi yang sama tetapi yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA ) sebagai yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3A Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah transfer pricing. APA umumnya dimulai dengan permintaan Wajib Pajak kepada otoritas pajak, kemudian Wajib Pajak mempresentasikan cara perhitungan harga biaya dengan memberikan semua data yang berkaitan dengan perhitungan tersebut. Pihak otoritas pajak kemudian melakukan semacam audit untuk memastikan bahwa perhitungan harga biaya tersebut dapat diterima. APA umumnya berlaku untuk suatu periode tertentu. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. Sehingga fiskus tidak perlu lagi melakukan penelitian apakah transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sudah arm’s length atau belum.
Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada otoritas pajak Indonesia dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal. Penghitungan kembali ini hanya bertujuan menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Jumlah yang dihitung atau jumlah yang dikurangi harus sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa, sehingga dalam melakukan penghitungan kembali tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Jadi sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 maka penghitungan kembali hanya dapat dilakukan apabila terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang melakukan transaksi dan harga atas transaksi tersebut tidak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha.

Sedangkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 berisi panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer pricing atau yang mengandung indikasi adanya transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Dalam menyelesaikan kasus tersebut juga digunakan berbagai metode untuk menentukan arm’s length price sebagaimana metode-metode yang digunakan oleh OECD.
Bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha dalam Surat Edaran ini dan perlakuan perpajakannya adalah
Harga penjualan
Dalam penyelesaian kasus atas kekurang wajaran harga penjualan, maka untuk menentukan harga wajar dari transaksi penjualan ini, ketentuan ini menggunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan transaksi melalui metode comparable uncontrolled price, dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sejenis atau serupa maka metode cost plus atau metode resale price digunakan.
pendekatan laba apabila ketiga metode di atas sulit digunakan, pendekatan laba dapat dilakukan dengan pendekatan laba perusahaan sebanding (comparable profit) atau tingkat hasil investasi ( return on investment ) dari usaha yang sama, serupa atau sejenis.
Harga pembelian
Dalam penyelesaian kasus atas kekurang wajaran harga pembelian, maka untuk menentukan harga wajar dari transaksi pembelian ini, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang sama, sejenis atau serupa atas pembelian atau impor dari pihak yang tidak ada hubungan istimewa atau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan maka pendekatan harga jual minus dapat diterapkan.
Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
Kasus ini terjadi apabila terjadi alokasi biaya kantor pusat oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, alokasi biaya administrasi dan umum diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung berdasarkan faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat yang diterimanya.
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder loan )
Ketentuan ini memuat penentuan kembali utang sebagai modal dalam kerangka bahwa pemberi pinjaman dalam hal ini pemegang saham belum menyetor penuh modalnya. Aplikasi ini adalah menentukan bagian pinjaman sejumlah modal yang belum disetor tersebut sebagai modal ( penyertaan kreditur yang sekaligus juga merupakan pemodal ) dan bunga pinjaman atas pinjaman tersebut dianggap sebagai pemberian dividen. Dengan demikian pembayaran bunga yang dianggap sebagai dividen tidak dapat dikurangkan sebagai biaya dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak.

Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
Untuk menentukan harga wajar dari transaksi tersebut dapat digunakan pendekatan transaksi ( penggunaan metode-metode arm’s length ). Tetapi karena transaksi ini merupakan transaksi transfer pricing atas intangibles ( hak atas kekayaan intelektual ) maka dalam penentuan harga wajar perlu dipertimbangkan faktor seperti tarif yang berlaku untuk intangible serupa pada bidang industri yang sama, harga penawaran, karakter dan keunikan intangible, nilai jasa dari pemegang hak.

Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
Untuk menentukan harga wajar atas transaksi pembelian maka digunakan harga pasar wajar sebanding untuk barang yang sama atau serupa atau sejenis
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha ( misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center )
Digunakan pendekatan substansi bisnis, sehingga untuk penghitungan pajak, transaksi penjualan dari perusahaan Indonesia ke perusahaan di luar negeri dengan perantaraan perusahaan letter box company dianggap tidak ada, sehingga harga jual ditentukan kembali.

Pasal 9 ayat 2 UN Model mengatur bahwa apabila terjadi transaksi antara dua pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi tersebut tidak arm’s length maka salah satu Negara pihak pada persetujuan dapat melakukan penyesuaian. Bila penyesuaian yang dilakukan oleh negara tersebut tidak diikuti oleh negara lainnya (correlative adjustment) maka akan terjadi pengenaan pajak berganda terhadap penghasilan yang sama di tangan orang yang berbeda.

Menurut Rachmanto Surahmat untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda tersebut maka ada dua alternatif yang bisa ditempuh yaitu
Misalnya, perusahaan X yang berdomisili di Negara A melakukan transaksi dengan perusahaan dalam grupnya, yaitu perusahaan Y di Negara B. Penyesuaian telah dilakukan terhadap X karena transaksinya tidak didasarkan pada arm’s length. Langkah yang ditempuh B dalam rangka correlative adjustment adalah dengan melakukan penetapan kembali pajak yang terutang.

Dengan mekanisme pengkreditan pajak sebagaimana diatur dalam pasal 2 Model P3B. Y dapat mengkreditkan pajak yang dibayar oleh X ( sebagai akibat penyesuaian ) di A.
Uraian di atas menjelaskan bagaimana identifikasi suatu transaksi apakah mengandung transfer pricing atau tidak dan menguraikan perlakuan perpajakan atas transaksi-transaksi transfer pricing.

KESIMPULAN
Transaksi transfer pricing adalah transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat arm’s length.
Implementasi transfer pricing cenderung dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan tujuan untuk penghindaran pajak.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer pricing adalah berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.
Peraturan perpajakan Indonesia untuk menangani kasus transfer pricing sudah memadai hanya untuk aturan teknis pelaksanaannya perlu dibuat secara khusus. Misalnya dengan peningkatan status peraturan dari Surat Edaran menjadi peraturan yang lebih tinggi.
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement ) mempunyai peranan penting dalam penyelesaian kasus transfer pricing dan yang lebih penting lagi dapat memberikan kepastian hukum kepada para Wajib Pajak
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) dapat menyelesaikan masalah transaksi transfer pricing antara negara yang terikat perjanjian P3B dengan correlative adjustment.




Zakat-Pajak Beban Umat Muslim Indonesia


Zakat dan pajak secara konseptual memiliki substansi pemaknaan yang sama sebagai suatu beban yang harus ditunaikan oleh seorang penganut agama dan seorang warga negara. Bahkan akan menjadi kewSebagai warga negara, umat muslim Indonesia dibebani sejumlah kewajiban pajak, antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (tanpa syarat bagi pemilik tanah dan bangunan), Pajak Penghasilan (15 persen), Pajak Pertambahan Nilai (10 persen), IMB, dan sejumlah pungutan lainnya seperti retribusi yang sangat bervariasi.

Itu masih ditambah lagi beban zakat sebesar 2,5–5 persen. Dengan demikian, umat muslim Indonesia dengan jumlahnya yang mayoritas, dapat dipastikan sebagai penyetor pungutan terbesar kepada negara.

Zakat dan pajak tampaknya memiliki arah yang sama sebagai sarana pendapatan untuk kepentingan bersama, baik untuk pembangunan fisik maupun untuk pembangunan manusia seutuhnya.

Pajak dalam konteks modern lebih memiliki karakter untuk tujuan pembangunan secara umum, sementara zakat sejak dahulu kala memiliki spesifik pemungutan dan penggunaannya yang tidak pernah berubah, yaitu untuk pembangunan manusia seutuhnya bagi delapan ashnaf (golongan penerima zakat).

Secara historis, pajak yang disebut dharibah dalam konteks pemerintahan Islam merupakan salah satu sarana penerimaan negara selain kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak jiwa), ghanimah (pampasan perang), ushr (cukai), dan fa’iy, telah dikenal sejak masa Rasulullah dan masa-masa pemerintahan Islam selanjutnya.

Yang tampak bahwa posisi zakat tidak pernah terabaikan karena perintah Alquran, sementara jenis-jenis pungutan tersebut berlangsung secara fluktuatif, tergantung pada situasi dan kondisi keuangan Baitul Mal dan kebutuhan pemerintahan Islam ketika itu.

Pajak atau dharibah di masa-masa dinasti islamiyah eksistensinya tidak seperti yang berlangsung dewasa ini. Ketika itu pajak (dharibah) diadakan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti saat kas Baitul Mal kurang atau kosong sama sekali,

ataukah terdapat suatu proyek atau peristiwa yang memerlukan dana dan harus dirampungkan untuk jangka waktu tertentu, barulah sarana dharibah ini diterapkan. Dengan demikian dharibah ketika itu bukanlah beban rutinitas yang berkelanjutan, melainkan hanya bersifat temporer jika kedua kondisi tersebut muncul.

Pembebanannya juga hanya dikenakan bagi yang kaya atau yang berkemampuan lebih. Itupun hanya dalam rangka menutupi kekurangan. Setelah itu, dharibah ditiadakan lagi.

Zakat sepanjang sejarahnya sejak diwajibkan bagi umat muslim yang berkemampuan, terus berlangsung secara kontinu dan rutin hingga saat ini, meskipun pajak (dharibah) juga harus dibayarnya. Jadi umat muslim di masa lalu terkadang hanya membayar zakat tetapi juga tidak jarang dikenakan pajak secara bersamaan.

Pembebanan ganda (double taxs) zakat dan pajak sebenarnya juga telah dipraktikkan di masa-masa dinasti Islamiah masa lalu. Namun pajak itu tidak pernah permanen hanya diperuntukkan mengisi kas Baitul Mal atau untuk menutupi kekurangan dana untuk program-program tertentu dan itupun hanya untuk umat muslim tertentu di luar kewajiban zakatnya.

Konteks Indonesia

Praktiknya di Indonesia zakat dan pajak itu berlangsung secara kontinue dan permanen terhadap warga negaranya tanpa memandang ras dan latar belakangnya. Umat muslim yang berkemampuan lebih secara material maka ia wajib pajak sebagai warga negara sekaligus wajib zakat.

Dalam kondisi ini, zakat dan pajak wajib ditunaikannya secara bersamaan di mana zakat biasanya diserahkan kepada amil zakat untuk disalurkan kepada yang berhak, yakni delapan ashnaf.

Kewajiban pajak merupakan konsekuensi langsung sebagai warga negara tanpa syarat untuk berbagai jenis pajak demi kepentingan pembiayaan kelangsungan pemerintahan dan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Pembebanan ini berlangsung secara kontinu setiap tahunnya atau setiap melakukan kegiatan yang terkena pajak.

Menyimak realitas pembebanan demikian, tampaknya cukup memberatkan warga Negara, terutama umat muslim yang juga dikenakan kewajiban berzakat sebesar 2,5–5 persen dari penghasilannya.

Meskipun berbeda peruntukannya, namum subjeknya sama. Menarik untuk dikaji demi mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam dan tanpa mengurangi hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

Zakat Pengurang Pajak

Dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, rupanya secara eksplisit memberikan solusi yang akan membantu meringankan beban umat muslim terutama yang berkaitan dengan kewajibannya sebagai wajib pajak.

Pasal 14 (3) UU tersebut menyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan melalui BAZ dan LAZ dikurangkan dari laba/pendapatan kena pajak. Misalnya seorang muslim dikenai pajak penghasilan sebesar 15 persen di satu sisi, maka sudah barang tentu juga ia dikenakan zakat sebesar 2,5–5 persen.

Ini berarti muslim tersebut mengeluarkan dari penghasilannya itu mendekati total 20 persen. Hal ini terlihat sebagai beban yang sungguh memberatkan.

Namun melalui UU tersebut, zakat yang dikeluarkan dimungkinkan sebagai pengurang beban pajak 15 persen dikurangi zakat yang telah dikeluarkan sebesar 2,5 persen sehingga pajak penghasilannya menjadi 12,5 persen. Hal ini cukup meringankan beban umat muslim di tanah air.

Permasalahan selanjutnya adalah seorang muslim sejak awal harus menyatakan secara jujur dan benar harta dan penghasilannya yang terkena pajak sekaligus sebagai objek zakat. Tetapi sungguh akan menyulitkan jika harta/penghasilan tidak dalam satu bundel, lain harta yang dikenakan zakat lain pula penghasilan yang bakal dikenakan pajak.

Untuk menggeneralisasi pajak yang bisa dikurangkan dengan zakat, tampaknya tidak mudah direalisasikan. Misalnya PBB, PPN, IMB, dan pungutan lainnya, terlalu sukar untuk menghitungnya sehingga zakat bisa menjadi pengurang atasnya. Namun yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah PPh terhadap zakat.

Jadi semua penghasilan kena pajak juga menjadi objek zakat, sehingga bukti pembayaran zakat dapat langsung dijadikan dasar pengurangan pajak. Tetapi kehendak mulia UU tersebut kembali lagi sejauh mana kesiapan pemerintah dalam hal ini instansi terkait untuk meresponsnya.

Hal lain yang tidak kalah urgennya adalah teknis pengeluaran zakat bagi kaum muslimin, juga harus diikuti dengan cara-cara yang profesional pula. Jadi pembayaran zakar secara konvensional sudah pasti tidak termasuk di dalamnya, karena bukti lunas zakat tentunya harus dikeluarkan oleh lembaga profesional seperti kehadiran BAZ dan LAZ dengan kuitansi yang standar.

Nah pembayaran zakat secara langsung sangat sulit meskipun ada bukti terima dari fakir-miskin walaupun didukung dengan KTP dan lainnya.

Bagaimana dengan keadaan saat ini di mana seluruh masjid membentuk panitia Ramadan amil zakat, infaq, dan sedekah? Sepanjang mekanisme penerimaan zakat masih manual dan konvensional meskipun didasari dengan SK Pengurus Masjid,

tetap belum termasuk dalam bukti yang dikehendaki UU tersebut sebagai dasar pengurang pajak. Namun bukti lunas zakat yang sesuai UU hanyalah melalui BAZ dan LAS yang sah dengan form yang standar.

Amil Zakat Wakil Tuhan

Untuk mengantisapi zakat sebagai pengurang pajak, kita konsisten saja dengan UU Zakat, dengan memaksimalkan aturan kinerja Amil Zakat secara kelembagaan dan bagaimana menampilkan lembaga itu sebaik dan seefektif mungkin.

Amil zakat yang amanah bukan saja karena keahlian manajerial dan kejujurannya, melainkan juga harus betul-betul selektif dalam menerima zakat serta tidak hanya berorientasi ekonomis dibayangi asumsi-asumsi angka yang besar dikalikan dengan jumlah umat Islam seperti yang tampak saat ini.

Padahal zakat itu sendiri bukan untuk mensucikan harta yang kotor (diperoleh secara bathil), tetapi hanya untuk mensucikan harta yang suci dari perilaku yang suci (tazkiyah). Jika paradigma demikian ada di pikiran amil zakat sudah melenceng dari kesucian yang melekat dalam syariah Islam.

Karena itulah, mengapa UU No 38/1999 hanya mengatur pengelola zakat selain secara filosofi sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menerima zakat atas nama-Nya.

Agar yang diangkat sebagai wakil Tuhan (amil) itu tidak menyalahgunakan kewenangannya, maka perlu diatur dengan baik sesuai dengan syariah-Nya. Maka institusionalisasi amil zakat yang mengedepankan prinsip tazkiyah semakin urgen adanya, terutama dalam membangun koordinasi dengan instansi perpajakan nasional.

Untuk menghindari Amil Zakat yang bermasalah di kemudian hari dan di hari kemudian, maka perlu diatur secara detail syarat amil zakat karena ia adalah wakil Tuhan dan menerima zakat atas nama Allah swt, bukan atas nama ketua Masjid,

Bazis, dan Lazis, dan kita terhindar dari jebakan ayat (janganlah kalian menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga yang sangat murah; wala tasy-taruu biayatillah stamanan qalilan).

Dengan demikian siapa yang akan berzakat, apa yang harus dizakati, harus diketahui secara benar oleh amil zakat sebagai wakil Tuhan Hal ini penting diatur agar pemahaman dan pengelolaan zakat tetap senantiasa dalam koridor syariah, jangan sampai pelanggaran syariah atas nama syariah itu sendiri.

Persoalan muzakki yang tidak berzakat itu urusan langsungnya kepada pencipta-Nya tanpa perlu kita intervensi, sudah cukup dengan dakwah dari sesamanya manusia akan kewajibannya sebagai hamba Allah swt.

Bagi kaum muslim Indonesia, sungguh sangat mulia manakala beban pajak itu disikapi sebagai rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara, diniatkan sebagai perbuatan makruf untuk kepentingan bersama dan semoga Allah memberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.


Bukan Pengurang Penghasilan Bruto

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.



a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.



b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.



c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan diperbolehkan untuk jenis-jenis usaha berikut:

a) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, dan asuransi.

b) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.


d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.

Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.



e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak, kecuali :

1) Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh karyawan di tempat kerja secara bersana-sama.
2) Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu.
3) Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.


f. Dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.

Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.


g. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.



h. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan.

i. Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan dalam hal ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

j. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

k. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.

l. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (Pasal 9).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 tahun 2000 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan

3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 jo. KMK 235/KMK.01/199868/KMK.04/1999 jo. KMK 204/KMK.04/2000 tentang Besarnya Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya. jo. KMK

4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ./2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta Yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.31/2003 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman oleh Pemberi Kerja bagi Seluruh Pegawai di Tempat Kerja.

Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak

Pengantar

Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.

Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.


Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.

Pajak adalah beban bagi perusahaan

Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.

Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.

Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :

* Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
* Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
* Transaksi export fiktif,
* Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan

Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.

Bagaimana cara menghindari Pajak

Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :

* Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
* Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
* Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
* Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar

Bagaimana pajak perusahaan dihitung

Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.

sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :

Uraian Jumlah (Rp)
Penjualan 10.000.000
Harga Pokok Penjualan 6.000.000
Laba Bruto 4.000.000
Biaya Operasional :
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) 1.000.000
- Biaya Gaji karyawan 900.000
- Biaya Operasional lainnya 1.500.000
Sub total Biaya Operasional 3.400.000

Laba Bersih 600.000
PPh terutang - 30% 180.000
Laba Bersih setelah Pajak 420.000


Dalam contoh tersebut laba bersih perusahaan sebelum pajak sebesar Rp 600.000. PPh yang terutang sebesar Rp 180.000 sehingga laba bersih setelah pajak –yang dapat diinvestasikan kembali- atau dibagikan kepada pemilik sebagai dividen sebesar Rp 420.000

Tidak semua Biaya Operasional dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan

Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa seluruh biaya operasional perusahaan dapat dibebankan/ diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan. Sehingga pajak yang terutang dihitung berdasarkan laba bersih.

Sayangnya, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku terdapat berbagai macam biaya yang –meskipun secara akuntansi komersial dan bisnis- memang dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan usaha; namun tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang atau menjadi non deductable expenses.

Secara umum, pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan secara fiskal (deductable expenses) adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pengeluaran biaya tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta didukung dengan bukti yang memadai (valid & reliable).

Meskipun pengeluaran yang dilakukan perusahaan benar-benar berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, secara internal-pun sudah diakui kebenaran transaksi tersebut, sepanjang pengeluaran tersebut tidak didukung adanya bukti transaksi yang memadai, bukti transaksi yang valid dan reliable maka sesuai dengan ketentuan perpajakan, pengeluaran tersebut menjadi non deductable expenses.

Berbicara mengenai bukti kebenaran suatu transaksi, akuntansi mencatat suatu transaki yang telah lewat kejadiannya (historical data), satu-satunya alat yang dapat membuktikan bahwa transaksi tersebut benar adanya, yaitu dengan adanya dokumen yang valid dan reliable. Selain dokumen, tentu saja adanya internal kontrol yang kuat yang dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi yang tidak benar juga diperlukan.

Meskipun secara akuntansi komersial, suatu transaksi telah dapat dibuktikan kebenarannya –berdasarkan dokumen- yang ada, ketentuan perpajakan belum tentu menerima hal tsb.

Kalau ketentuan pajak tidak mengakui pengeluaran perusahaan sebagai deductable expenses, apa efeknya?

Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa semua biaya operasional dapat diakui sebagai pengurang penghasilan seluruhnya sehingga PPh terutang dihitung berdasarkan laba bersih. Apabila atas biaya operasional perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal –menjadi non deductable expenses-, maka perhitungan pajak dilakukan berdasarkan laba bersih setelah ditambah dengan pengeluaran yang merupakan kelompok non deductable expenses.

Jika dalam ilustrasi perhitungan di atas, komponen biaya pemasaran tidak didukung bukti pengeluaran yang valid misalnya, selain itu juga terdapat biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif, sehingga seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya (dikoreksi menjadi non deductable expenses), maka ilustrasi perhitungan PPh-nya menjadi sebagai berikut :

Uraian Jumlah (Rp)
Penjualan 10.000.000
Harga Pokok Penjualan 6.000.000
Laba Bruto 4.000.000
Biaya Operasional :
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) 1.000.000
- Biaya Gaji karyawan 900.000
- Biaya Operasional lainnya 1.500.000
Sub total Biaya Operasional 3.400.000

Laba Bersih - komersial 600.000
Ditambah :
Biaya pemasaran yang merupakan non deductable expenses 1.000.000
Laba yang menjadi dasari perhitungan Pajak 1.600.000
PPh terutang - 30% 480.000 80,00%
Laba Bersih setelah Pajak 120.000


Dari ilustrasi perhitungan ini, dapat terlihat bahwa pengeluaran yang nyata-nyata sudah menjadi beban perusahaan untuk keperluan memasarkan produk –biaya promosi dan sponsorship- namun karena biaya tersebut tidak didukung bukti yang valid, perusahaan memiliki kewajiban pajak yang jauh lebih tinggi dibanding seharusnya. Dalam contoh tersebut tarif efektif PPh mencapai 80% dari laba bersih.

Membayar 30% saja sudah menjadi beban apalagi harus membayar sampai 80%, tentu menjadi beban yang sangat berat bagi perusahaan.

Memilih alternatif transaksi yang memberikan efek pajak termurah

Selain wajib membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada karyawan maupun kepada pihak ketiga.

Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang. Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.

Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga, atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23 yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3 (vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan (biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan menyetorkannya ke kas negara.

Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa ‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.

Tujuan perusahaan yang harus dicapai secara bersama-sama

Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih –setelah pajak- yang tinggi.

Laba bersih yang tinggi tentu diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal, sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal.

Ketika penjualan mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi –misalnya- maka secara ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”.

Demikian pula ketika laba bersih –secara komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non deductable expenses.

PPh Final Atas Hadiah Undian

Sebelum memasuki inti tulisan, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pembaca dan pengunjung blog ini yang telah sudi untuk berkunjung ke blog ini. Mohon maaf juga saya sampaikan karena sudah hampir satu setengah bulan ini saya tidak mengupdate isi blog ini. Hal ini karena ada kegiatan diklat kepemimpinan yang saya ikuti di Magelang yang cukup menyita waktu sehingga tidak sempat untuk merawat blog ini. Mulai minggu ini Insya Allah saya akan mulai memposting tulisan-tulisan tentang pajak lagi. Rencana saya, pada bulan ini saya akan menulis tentang jenis-jenis Pajak Penghasilan yang bersifat final. Saya awali seri Pajak Penghasilan Final ini dengan PPh Final atas hadiah undian.

Dasar Hukum

1. Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak PenghasilanPeraturan
2. Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000

Ruang Lingkup

PPh Final atas hadiah undian ini dikenakan atas penghasilan berupa hadiah undian yang dibayarkan kepada orang pribadi atau badan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.Penghasilan hadiah undian di sini perlu dibedakan dengan jenis hadiah-hadiah lain. Dengan kata lain, jenis penghasilan hadiah ini ada bermacam-macam. Salah satunya adalah hadiah undian. Misalnya, ada hadiah dari perlombaan, ketangkasan, atau kontes yang biasanya merupakan objek PPh Pasal 21.

Ada juga hadiah yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang juga merupakan objek PPh Pasal 21. Selain itu ada juga hadiah yang diberikan karena seseorang atau badan memiliki prestasi tertentu. Nah, yang dibahas dalam tulisan ini adalah penghasilan dari hadiah undian yang merupakan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2).

Tarif dan Dasar Pengenaan

Besarnya tarif PPh Final atas hadiah undian adalah 25% dari jumlah bruto nilai hadiah undian. Apabila hadiah undian tidak diberikan dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang maka yang dimaksud dengan nilai hadiah undian adalah nilai pasar barang tersebut.

Pemotong Pajak

Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak Penghasilan atas hadiah undian. Penyelenggara undian ini adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi.

Ilustrasi

Misalkan PT Bank SENTOSA yang bergerak dalam bidang perbankan secara rutin memberikan hadiah kepada nasabah yang terpilih melalui undian yang dilakukan tiap tahun. Untuk tahun 2008, penarikan undian dilakukan pada tanggal 1 September 2008. Dari proses undian terpilihlah seorang nasabah bernama SANTOSO dan berhak mendapatkan hadiah Rp 1 Milyar.PT Bank SENTOSA wajib memotong PPh Final atas hadiah undian sebesar 25% x Rp 1 Milyar atau sama dengan Rp250 Juta sehingga hadiah bersih yang diterima oleh SANTOSO adalah Rp750 Juta. PT Bank Sentosa wajib membuat bukti potong sebanyak tiga lembar yang nantinya akan diberikan kepada SANTOSO satu lembar, untuk arsip satu lembar dan untuk dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak sebanyak satu lembar.

Uang Pajak Penghasilan atas hadiah undian sebesar Rp250 Juta harus disetorkan kepada negara oleh PT Bank SENTOSA paling lambat tanggal 10 Oktober 2008. Penyetoran dilakukan menggunakan SSP dan dibayarkan di bank-bank persepsi yang bisa menerima setoran pajak. PT Bank SENTOSA juga wajib melaporkan pemotongan pajak ini dengan mengisi SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Penyampaian ini dilakukan paling lambat tanggal 20 Oktober 2008.

Penipuan Yang Mengatasnamakan Pajak

Seringkali kita menemui penipuan di mana kita dinyatakan sebagai pemenang sebuah undian. Biasanya kita diminta untuk menyetor sejumlah uang sebagai pajak atas hadiah undian. Untuk memperkuat hal ini biasanya si penipu melampirkan dokumen-dokumen yang seolah-olah berasal dari kantor pajak.

Nah, yang perlu saya tegaskan di sini adalah bahwa yang berurusan dengan kantor pajak adalah si penyelenggara undian. Dia yang wajib memotong dan menyetorkan uang pajak. Setoran pajaknyapun atas nama penyelenggara, bukan pemenang undian. Pemenang undian hanya akan mendapat bukti pemotongan pajak. Jadi, hati-hatilah penipuan yang mengatasnamakan pajak.

Pajak Penghasilan Final Atas Tanah dan/atau Bangunan

Ruang Lingkup

Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;



Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

Besarnya Pajak Penghasilan Final yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 10% dari nilai bruto nilai persewaan.

Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.



Pelunasan

Pelunasan Pajak Penghasilan final ini dilakukan dengan dua cara atau mekanisme. Mekanisme pertama melalui pemotongan dan mekanisme pembayaran sendiri. Yang dimaksud dengan pemotongan itu adalah bahwa si penyewa harus memotong Pajak Penghasilan sebesar 10% dari uang sewa yang dibayarkannya. Misal, PT ABC selaku penyewa membayarkan uang sewa kepada PT XYZ senilai Rp100 Juta. PT ABC akan menahan 10% atau senilai Rp 10 Juta untuk disetorkan ke kas negara sebagai PPh final. Sisanya Rp90 Juta adalah jumlah yang dibayarkan kepada PT XYZ.

Sementara itu mekanisme pembayaran sendiri adalah mekanisme di mana PPh final sebesar 10% dari uang sewa dibayarkan sendiri oleh si pemilik tanah/bangunan.

Mekanisme dilakukan jika si penyewa adalah fihak-fihak yang disebut sebagai pemotong pajak yaitu : Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

Sedangkan jika penyewanya bukan fihak-fihak di atas, misalnya orang pribadi biasa, maka si pemilik tanah/bangunan lah yang harus menyetorkan sendiri PPh finalnya.

Pembayaran PPh final ke kas negara oleh pemotong harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Sementara itu, pembayaran PPh final oleh yang menyewakan harus dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.



Pelaporan

Bagi pemotong pajak yang memotong Pajak Penghasilan final, pelaporan atas PPh final yang dipotongnya harus dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa. Begitu juga, bagi fihak yang menyewakan yang membayar sendiri PPh final, pembayaran tersebut harus dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).





Dasar Hukum

a. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

b. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996

c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 394/KMK.04/1996 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan

d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 120/KMK.03/2002 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996

e. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 227/PJ./2002 Tentang Tata Cara Pemotongan Dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan