Kisah Hidup-qu

ketika suatu imajinasi tidak dapat disampaikan maka itu adalah sebuah kekosongan yang tak bermakna..perlihatkan imajinasimu agar kau tetap hidup sebagai manusia di dunia ini.... By : Anwar Hamdi



Widget edited by anwar

Berita Iptek


ShoutMix chat widget

limit8

Biografi Shahrur
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR

A. Biografi Muhammad Shahrur Latar Belakang Sosialnya
Syiria dengan ibukota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki
pengaruh luar biasa di blanika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik,
budaya dan intelektual. Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur
Tengah. Syiria pernah mengalami problematika modernitas, khususnya bentaran
keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul disebabkan
dampak dari invansi Prancis dan gerakan modernisasi Turki. Selain itu,
Syiria pernah menjadi region dari dinasti Utsmaniyyah. Problema ini pada
gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi dan
Thahir al-Jaza’ri yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syiria[1].

Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentangan umat Islam dari
kecendrungan Tanzimat yang sekular dan penggugahan intelektual Islam dari
ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus mampu meramu rasionalitas, kemajuan,
dan modernitas dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanagkan
untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinil dalam al-Qur’an dan
Al-Sunah dengan menekankan ijtihat[2].

Ide al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh Thaha al-Jaza’iri. Kali ini
gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari
sinilah kemudian terlihat iklim inelektual Syiria, setingkat lebih “maju”
ketimbang negara-negara muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum
Islam secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar
bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syiria lebih nyata dan
menjanjikan dibanding negara-negara Arab lainnya, karena tidak semua negara
Arab menerima ide mengenai pembaharuan dalam Islam, misalnya yang harus
diterima Fazlur Rahman[3] dan Nasr Hamid Abu Zayd[4] yang harus hengkang
dari negaranya masing-masing. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti
bahwa Syiria merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam
pemikiran Islam.

Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir
dilahirkan di Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938 M[5]. Ayahnya bernama
Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun[6].
Dalam kehidupan pribadiya, Shahrur dinilai tlah berhasil membentuk sebuah
keluarga yang bahagia. Dari Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima
anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menika adalah Tariq (beristrikan
Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima (bersuamikan Luis). Sedangkan dua
lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan.
Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling tidak, diindikasikan
dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya.

Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan
Tsanawiyah ditempuh di kota kelahiraanya pada lembaga pendidikan
‘Abdurrahman al-Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu
pada tahun 1957. Pada bulan Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia
pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di
Moskow.

Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang
teknik tersbut dan kembali ke Syiria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi
di Universitas Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan
studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang
studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pad
Imparsial College, London, Inggris. Karen apda tahun itu, terjadi konflik
politik antara Syiria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris[7]. Selanjutnya
Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan program
Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika
Pertanahan (Soil mechanich) dan teknik pembangunan ( Fondation Engineering)
di Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun
1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali
ke Damaskus , kota kelahirannya.

Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas
Teknik Sipil Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi
sejak tahun 1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya dilur negeri, ia
tidak hanya belajat teknik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu
Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa
selain bahasa Ibunya sendiri (bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan bahasa
Inggris.

Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta
kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislamandi
Libanon dan Maroko. Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah
teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kososng mengenai wawasan
keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadits
secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan
teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran
keislaman[8]. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya
dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika
mengambil program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan
temannya DR. Ja’far Dik al-Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya,
berkat pertemuannya dengan Ja’far pada tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat
belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa[9].

Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai
merasakan “benturan peradaban” anatara latar belakang ideologisnya sebagai
seorang muslim dan fenomena social-intelektual di Moskow yang komunis. Di
negara inilah, Shahrur mulailah berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran
marxisme. Sungguhpun ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran
tersebut[10]. Namun demikian ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok
Hegel[11] –terutama dialektikanya- dan Alfred North White Head[12].

Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami
perbenturan cultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya
berbagai pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini
kemudian melahirkan berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan
prespektif dan keyakinan, baik terkait dengan moralitas maupun doktrin
teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh Shahrur.

Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan
doktoralnya di Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak
tahun 1970, Shahrur mencoba melakukan kajan ulang terhadap berbagai konsep
yang selama ini sudah dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai
tertarik untuk mengkaji tema-tema terkait dengan al-Qur’an, antara lain
konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur
masih bergelut dengan berbagai peranyaan yang belum terjawab secara
memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut
tidak membuahkan hasil.

Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor
ilmu bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya
sebagai tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan
dengan rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini,
merupakan “fase pencerahan” dalam diri Shahrur yang secara konsekuen
membentuk pola pikir Shahrur dan kecendrungannya untuk mendalami filsafat
bahasa dan humanisme. Fase tersebut menunjukkan pengaruh besar yang
diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang rahasia bahasa Arab.

B. Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur
Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk
diketahui sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar
pemikiran merupakan pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang
tentu sangat mempengaruhi seluruh kontruksi dan bangunan pemikiran
seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak dari pada Landasan
Metodologis.
Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik
sebagai dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (majhad lughawi), karena ia
disamping sebagai eksak (teknik sipil), ia juga seorang ahli filsafat
bahasa[13].

Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalai
bahasa Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bias
diremehkan, terutama sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki
al-Bab. Shahrur dalam menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an:
Qira’ah Mu’ashirah menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh
ilmu linguistik modern. Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj
at-tarikh al-ilmi (metode histories ilmiah)[14]. Akan tetapi Shahrur
sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang dipergunakannya.
Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam
pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.

Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan
sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani.
Kristalisasi dari kedua tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang
dikembangkan oleh Abu al-Farisi[15]. Sintesa tersebut secara garis besar
memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah suatu tatanan, bahasa
merupakan bentuk realitas social, dan struktur bahasa selalu berkaitan
dengan fungsi iblaqh (fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara
bahasa dan pemikiran.

Dari Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut :
1. Bahwa bahasa merupakan sebuah system (anna al-lughah nizam)
2. Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat
terkait dengan konteks dimana bahasa itu disampaikan.
3. Ada keterkaitan (at-talazum) antara bahasa dan pemikiran[16].
Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap
al-Qur’an secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut:
Bahasa sebagai medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya
keterkaitan antara dan ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak
awal telah berbicara yaitu melalui suara untuk mengkomunikasikan
tujuan-tujuan (pikirannya) kepada orang lain. Sementara proses pemikiran
manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi terbentuk secara
bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi
pengatahuan abstrak.

Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna
tetapi melalui proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai
dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian membangun teori
batas (teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas
yakni al-hanif dan al-istiqamah.

C. Karir dan Karya Muhammad Shahrur
a. Karir Akademis dan Pemeritahan Muhammad Shahrur
Setelah menyelesaikan program doktoralnya di Dublin, Shahrur menjadi salah
satu staf pengajar di Universitas Damaskus di Syiria. Di universitas inilah
Shahrur memulai karir akademiknya.
Disamping menjadi dosen, Shahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun
1982-1983, Shahrur dikirim pihak Universitas untuk menjadi satf ahli pada
al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di
fakultas, Shahrur membuka biro konsultan teknik (an engineering
consultancy/ dar al-istisyarat al-handasiyah) di Damaskus[17].
Tidak ada data dan penjelasan yang penulis dapatkan dari karir Shahrur
dalam bidang pemerintahan. Karir Shahrur hanya berada dalam lingkup
akademis, yakni sebagai dosen di Universitasnya.
b. Karya-karyanya
Syiria merupakan negara yang sangat kondusif dalam menyokong aktualisasi
ide-ide dan pemikiran Shahrur sehingga ia menjadi muslim moderen yang cukup
produktif. Produktifitasnya terlihat ketika Shahrur menghasilkan berbagai
karya tulis yang dibukukannya. Buku pertama yang ia terbitkan adalah
al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah pada tahun 1990. Buku
tersebut merupakan hasil pengendapan pemikiran yang cukup panjang, sekitar
20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980, Shahrur merasa kajian
keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan hasil dan tidak ada
teori baru yang diperoleh. Karena dirinya merasa terkungkung dalam
kerangkeng literature-literatur keislaman klasik yang cenderung memandang
Islam sebagai ideology, baik dalam bentuk pemikiran kalam atau fiqih.
Sebagai implikasinya, pemikiran keislaman mengalami kejumudan dan tidak
bergerak sama sekali, karena selama ini pemikiran keislaman dianggap
final[18]. Menurut Eickelman-Piscatori, sebagaimana dikutif Bisri Efendi,
buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap kebijakan
agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak toleran[19].

Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirasat
Islamiyah Mua’sirah fi al-Daulah wa al-Mujtama. Dalam buku ini Shahrur
secara spesifik menguraikan dan membahas tema-tema sosial-politik yang
berkait erat dengan permasalahan masyarakat (al-mujtama’) dengan negara
(al-Daulah), tetapi tetap pada tawaran metodologisnya dalam memahami
al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam buku pertamanya. Secara tegas dan
konsisten Shahrur membangun konsep keluarga, masyarakat, negara, dan
tindakan kesewenang-wanangan (al-Istibdad) dalam prespektif al-Qur’an .
Dalam buku inipun Shahrur menjelaskan dan menguraikan berbagai tanggapan
terhadap buku pertamanya di samping menegaskan bahwa ia berbeda dengan
mereka dalam metodologi.

Di tahun 1996 Shahrur meluncurkan buku ketiganya yang berjudul al-Islam wa
al-Iman: Manzumah al-Qiyam. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh al-Ahali
Publishing House. Dalam buku ini Shahrur mencoba untuk mengkaji
konsep-konsep klasik mengenai rukun Islam dan rukum iman, suatu yang
penting dalam Islam. Setelah mengkaji cukup lama terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, yang berkaitan dengan kedua konsep diatas, Shahrur menemukan
pemahaman yang berbeda dengan ulama terdahulu[20]. Selain kedua konsep di
atas, buku ini berbicara tengtang kebebasan manusia, perbudakan dan tentang
ritual ibdah yang terangkum dalam konsep al-Ibad wa al-‘Abid. Hal lain yang
menjadi kajian buku ini tentang hubungan anak dan orang tua dan terakhir
tentang sejarah monoteisme dalam al-Qur’an[21].

Buku terakhir Shahrur adalah, Nahw Usul Jadidah LI al-Fiqh al-Islami,
ditulis pada tahun 2000. Khusus dalam buku ioni, melalui refleksi yang
sangat mendasar, ia menyuguhkan satu model pembacaan, khususnya yang
terkait dengan isu-isu perempuan, soal waris, wasiat, poligami, dan
kepemimpinan, yang masih actual dan belum terpecahkan secara konprehensif
hingga dewasa ini[22].

Dalam bidang teknik sipil sebagai latar belakan pendidikannya, Shahrur
menerbitkan beberapa buku antara lain: Handasah al-Asasiyah (tiga Juz),
Handasah al-Turabiyah. Selian dalam bentuk buku Shahrur juga menulis di
majalah dan jurnal antara lain dapat dijumpai Muslim Politic Report (14
Agustus 1997) dengan judul : “The Devine Text and Pluralism in Moslem
Socities” dan “Islam in The 1995 Beijing World Conference On Women” dalam
Kuwait Newspaper. Artikel terakhir telah dimuat dalam buku Islam Liberal
yang diedit oleh Charles Khuzman.


0 komentar:

Posting Komentar