Kisah Hidup-qu

ketika suatu imajinasi tidak dapat disampaikan maka itu adalah sebuah kekosongan yang tak bermakna..perlihatkan imajinasimu agar kau tetap hidup sebagai manusia di dunia ini.... By : Anwar Hamdi



Widget edited by anwar

Berita Iptek


ShoutMix chat widget

limit 3


Khazanah pemikiran islam kontemporer semakin maju seiring dengan
perkembangan zaman dan peningkatan potensi keilmuan kaum muslimin. Hal ini bisa
kita lihat pada perkembangan pemikiran pada abad 20 yang menelorkan berbagai
macam teori-teori baru berkaitan dengan hokum islam. Tengok saja misalnya Hassan
Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fazlurrahman dls. Menariknya, fenomena pemikiran
keislaman ini ternyata tidak hanya muncul dari sarjana-sarjana agama yang senantiasa
bergelut dengan turats-turats dan pemikiran keislaman, tetapi juga muncul dari
kalangan saintifik islam yang peduli terhadap islam dan kedinamisannya.
Salah satu pemikir tersebut adalah Mohammad Shahrour. Seorang sarjana
teknik yang memiliki kontribusi pemikiran keislaman yang menimbulkan pro dan
kontra didunia muslim sendiri. Pemikiran Shahrour muncul lebih sebagai tanggapan
atas kegelisahannya dalam melihat fenomena pemikiran Islam yang seolah
menetapkan hokum dikehidupan sekarang dengan menggunakan alat yang
sepantasnya dipakai pada zaman lampau. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah
Islam tidak sholihun likulli zaman wal makan, tetapi hanya sesuai dengan masyarakat
Arab pada zaman rasulullah dan sahabat. Oleh karena itu, menurut Shahrour perlu
adanya reinterpretasi terhadap nash agar nash tersebut sholihun likulli zaman wal
makan.
Sekilas Biografi Shahrour
Shahrour lahir tahun 1938 di perempatan Salihiyyah, Damaskus. Shahrour
adalah anak kelima dari seorang tukang celup. Orang tua Shahrour memutuskan untuk
mengirimkannya tidak pada pondokan (kuttab) atau sekolah keagamaan (madrasah)
tetapi justru ke sekolah dasar dan menengah di al-Midan, di pinggiran kota sebelah
selatan Damaskus yang berada diluar batas dinding kota.
Pada tahun 1957, dia dikirim ke Saratow, dekat Moskow, untuk belajar Teknik
Sipil (hingga 1964), dan beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1968 dia dikirim
kembali untuk belajar di University College di Dublin untuk memperoleh gelar M.A
dan Ph.D dibidang mekanika tanah dan Teknik Pondasi (hingga 1972). Kemudian dia
diangkat sebagai professor jurusan teknik sipil di Universitas Damaskus(1972-1999)
disamping mengelola sebuah perusahaan kecil milik pribadi dibidang Teknik.
Muhammad Shahrour tidak tergabung dengan institusi islam manapun, dan dia tidak
pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu
keislaman.
Untuk menyebarluaskan pemikirannya, Shahrour menggunakan media
penerbitan buku. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya karya pertamanya al-kitab wa
al-quran : Qiraah Muashirah pada tahun 1990. Banyak penentangan yang diterima
Shahrour setelah penerbitan karyanya tersebut, terutama dari para pemegang otoritas
keagamaan yang mapan. Banyak tuduhan bernada miring dialamatkan kepada
Shahrour, diantaranya ia pernah dianggap telah dibayar oleh organisasi asing/zionis
untuk merusak otoritas dan kesatuan umat Islam. Tetapi apapun yang dituduhkan
kepada Shahrour, pemikiran Shahrour merupakan sumbangan ilmiah yang patut
dihargai dalam khazanah pemikiran islam kontemporer.
Latar Belakang Konstruksi Pemikiran Shahrour
Permasalahan yang mendorong shahrour untuk melakukan kajian keislaman
secara global berangkat dari dua realitas yang saling berkaitan, yaitu realitas
kehidupan masyarakat kontemporer dan realitas doktrin dalam Islam (turats). Cara
memandang terhadap kedua hal ini berimplikasi pada timbulnya polarisasi golongan
ditengah masyarakat, yaitu golongan literalis (tekstual) dan golongan modernis
(kontekstual).
Golongan literalis berkeyakinan secara ketat kepada literal dan tradisi yang
diturunkan sejak zaman rasulullah. Mereka berpendapat bahwa apa yang cocok pada
zaman rasulullah dan zaman sahabat merupakan sesuatu yang final, yang absolut,
yang senantiasa sesuai dengan zaman, kapanpun dan dimanapun. Tradisi yang
diwariskan dari rasulullah harus senantiasa dilestarikan tanpa memandang realitas
masyarakat sekitarnya.
Sebaliknya, golongan modernis cenderung menolak semua bentuk warisan
islam, bahkan termasuk al-quran. Kelompok ini tergila-gila dengan paham-paham
sekulerisme, nasionalisme dan modernisme yang kebanyakan berkiblat pada barat.
Mereka menganggap tradisi yang diwariskan dari zaman rasulullah hanya menjadi
penghambat kemajuan untuk mencapai modernisme. Agama hanya sebagai narkotik
yang digunakan sebagai apologi oleh kaum yang lemah dan tertindas.
Pada perkembangannya, menurut shahrur kedua kelompok ini gagal dalam
menggapai cita-cita ideal kehidupan masyakarat, sehingga hal ini mendorongnya
untuk memunculkan kelompok ketiga, yaitu kelompok yang menyerukan untuk
kembali pada Al-quran dengan paradigma yang baru. Menurut Shahrur, seharusnya
umat Islam mengkaji Al-quran dengan melihat realitas masyarakat sekitarnya.
Pemahaman Al-quran harus sesuai dengan konteks dimana mereka hidup. Bukan
malah memahami Al-quran dengan menggunakan paradigma umat terdahulu yang
tentu saja berbeda kondisinya dengan keadaan sekarang.
Hal ini menjadi landasan pemikiran Shahrour yang mencoba mendialogkan
tradisi (turats) dan modernitas (mu’ashirah). Turats dimaknai sebagai produk-produk
pemikiran yang ditinggalkan oleh generasi salaf untuk generasi khalaf sebagai
landasan berpikirnya, sedangkan al-muashirah merupakan interaksi antara manusia
dengan produk pemikir kontemporer. Keduanya merupakan hasil kreativitas manusia
yang bebas untuk diapresiasi dan dikembangkan tetapi tidak boleh disakralkan.
Dalam hal ini, umat islam diharapkan mampu mengadopsi pengetahuan kontemporer
yang didapatkannya pada produk pemikiran ulama’ klasik sehingga akan
menghasilkan produk baru dalam hukum yang sesuai dengan konteks kehidupan
masyarakat.
Realitas historis pada saat al-quran diturunkan, merupakan suatu bentuk
penafsiran terhadap ayat-ayat Al-quran. Penafsiran ini tidak bersifat final, tetapi masih
memungkinkan untuk timbulnya penafsiran-penafsiran yang lain dalam konteks yang
berbeda, meskipun menurut Shahrur hal ini tidak berlaku untuk aspek-aspek ibadah,
hudud dan sirathal mustaqim. Dalam hal ini, Hadits merupakan contoh nyata salah
satu bentuk model penafsiran rasulullah saw terhadap Al-quran yang sesuai dengan
konteks ruang dan waktu disaat rasulullah hidup. Lebih jauh Shahrur memiliki
pandangan tersendiri dalam melihat Al-quran dan sumber-sumber hukum lain dalam
islam.

0 komentar:

Posting Komentar